Headlines News :
Home » » Perjalanan dan Pengalaman di Dataran Tinggi Dieng Plateau

Perjalanan dan Pengalaman di Dataran Tinggi Dieng Plateau

Written By Unknown on Rabu, 19 Desember 2012 | 17.07



Siang itu, ketika saya sudah dua kali membatalkan tiket kereta api ekonomi jurusan Pasar Senen – Yogyakarta yang harganya tidak begitu mahal, tiga puluh delapan ribu rupiah untuk satu orang sekali jalannya, akhirnya saya memilih untuk mencari tiket bus yang langsung menuju Wonosobo. Karena tidak ada kereta api yang langsung kesana. Setelah tidak dapat tiket di agen bus DAMRI karena hari itu tidak ada pemberangkatan menuju Wonosobo, akhirnya saya mendapatkan tiket bus dari perusahaan swasta yang berangkat pukul 16.30 WIB pada hari itu dengan harga delapan puluh lima ribu rupiah per orang.

Tempat ini merupakan pusat interpretasi potensi wisata dan budaya Dieng ...
promojateng-pemprovjateng.com

perkembangan Gunung Dieng - Sudah retak semenjak tahun 1939.
beritamandiri.com

Siang itu, ketika saya sudah dua kali membatalkan tiket kereta api ekonomi jurusan Pasar Senen – Yogyakarta yang harganya tidak begitu mahal, tiga puluh delapan ribu rupiah untuk satu orang sekali jalannya, akhirnya saya memilih untuk mencari tiket bus yang langsung menuju Wonosobo. Karena tidak ada kereta api yang langsung kesana. Setelah tidak dapat tiket di agen bus DAMRI karena hari itu tidak ada pemberangkatan menuju Wonosobo, akhirnya saya mendapatkan tiket bus dari perusahaan swasta yang berangkat pukul 16.30 WIB pada hari itu dengan harga delapan puluh lima ribu rupiah per orang.
Saat saya sudah mendapatkan tiket keberangkatan, saya pun langsung bergegas pulang kembali ke rumah untuk mempersiapkan segala kebutuhan baik selama perjalanan maupun di tempat tujuan. Dan ketika waktu sudah menunjukkan pukul 15.30, saya langsung berangkat dengan angkutan umum menuju pangkalan bus.
Sesampainya di pangkalan bus, sudah terlihat beberapa penumpang lain disana beserta armada yang akan mengantarkan kami menuju kota tujuan. Kami pun menunggu sampai bapak supir memberangkatkan kendaraan dengan panjang sekitar 12 meter tersebut.
Agak sedikit telat, sekitar jam 5 lebih kami berangkat dari pangkalan agen bus di daerah Bitung langsung menuju Wonosobo. Bus malam yang enak, nyaman, dingin, cepat dan sangat besar itu, hanya ada sedikit penumpang di dalamnya, termasuk saya. Jadi kami bisa bebas duduk tidak sesuai nomor pada tiket, bahkan kami bisa selonjoran sampai tidur selama di perjalanan.
Pada tiket bus kami sudah ada voucher untuk makan malam satu kali. Kurang lebih jam 11 malam bus berhenti di tempat makan, dan kami pun beristhirahat untuk menyantap makanan yang telah disediakan. Setelah cukup untuk makan, merokok dan minum kopi, kami melanjutkan perjalanan kami kembali.
Selama di perjalanan, karena kondisi di luar sangat gelap dan tidak bisa dinikmati, saya pun memilih untuk tidur. Tiba-tiba saya dibangunkan oleh bapak kondektur untuk ditanyakan hendak turun dimana. Setelah saya jawab, lalu saya bertanya perjalanan sudah sampai dimana.
Banjarnegara! Bus melaju dengan cepat dan sudah hampir sampai Wonosobo.
Hati saya merasa sangat senang sekaligus penasaran juga bingung. Penumpang di dalam bus semakin berkurang karena sudah ada beberapa yang turun di tengah perjalanan. Hanya tersisa kami beberapa penumpang lain yang turun di pemberhentian paling akhir. Dan laju bus pun sudah memasuki kota Wonosobo.
Selamat datang di terminal Mendolo! Sambutan hangat yang di tulis di gerbang depan. Dan ternyata terminal ini pemberhentian terakhirnya. Lalu saya mengambil barang-barang saya kemudian perlahan mulai keluar dari bus.
Dingin. Bersih. Nyaman. Sepi. Tentram. Dan masih banyak lagi kata yang ada dipikiran saya ketika saya turun dari bus. Saya mulai kagum dengan kota ini. Dan ketika saya melihat jam, Wonosobo yang masih gelap itu ternyata masih jam 5 pagi. Udara dingin menemani saya dalam kebingungan. Akhirnya saya mencari warung kopi untuk menanti datangnya terang sambil mencari informasi perjalanan saya berikutnya.
Ya, perjalanan saya menuju daratan tinggi Dieng Plateau!
Saat terang mulai muncul, saya menikmati dinginnya udara pagi Wonosobo dengan segelas kopi panas dan beberapa tempe goreng yang saya pesan di warung sekitar terminal Mendolo sambil berbincang dengan bapak pemilik warung yang  berasal dari Sukabumi dan pemuda asli Wonosobo yang bekerja sebagai kondektur angkutan umum jurusan Wonosobo – Purwokerto.
Masyarakat sekitar sangat baik dan ramah. Saya benar-benar dipandu untuk sampai di dataran tinggi Dieng Plateau. Saya dijelaskan untuk naik apa dari terminal itu, turun dimana, lalu nyambung angkutan apa dan darimana. Serta saya dijelaskan pula ongkos-ongkosnya.
Sekitar pukul 8 pagi saya berangkat untuk melanjutkan perjalanan saya. Dari terminal Mendolo saya naik angkutan dalam kota yang ongkosnya dua ribu rupiah turun di bangjo (abang ijo), yang artinya perempatan lampu merah. Dan ketika saya naik angkutan dalam kota dari terminal tersebut, pemilik warung dan pemuda setempat menitipkan saya kepada supir dan kondektur yang saya tumpangi untuk menuju bangjo tersebut.
Setelah sampai di bangjo, dengan baik dan ramah kondektur itu membantu menurunkan barang-barang saya dan menjelaskan kembali untuk trayek berikutnya. Saya pun langsung menyebrangi perempatan jalan kota yang ramai namun tidak padat dan semrawut seperti yang sering saya lihat dan dapatkan di tempat tinggal saya. Polisi lalu lintas yang sedang bertugas disana bertanya kepada saya tujuan yang akan saya tuju, lalu polantas tersebut membantu saya menyebrang jalan dan menitipkan saya kembali kepada kondektur dan supir angkutan umum yang langsung menuju dataran tinggi Dieng Plateau.
Sambutan hangat dari bapak supir dan kondektur disana kala itu membuat saya merasa nyaman. Kejujuran masyarakat setempat ketika membantu membawakan barang-barang saya pun menghilangkan rasa khawatir saya.
Angkutan itu masih berdiam pada tempatnya karena masih belum terisi penuh dengan penumpang. Tidak begitu lama menunggu, bapak supir yang mengendarai angkutan umum dan duduk disamping saya mulai melajukan kendaraannya. Dan ternyata angkutan umum itu memiliki waktu berangkat dan tiba. Dengan ongkos delapan ribu rupiah saya disuguhkan pemandangan yang luar biasa dan dihembusi udara dingin sampai tempat tujuan saya.
Sambil bercengkrama dengan bapak supir, saya menikmati pemandangan sekitar. Dan saya semakin penasaran ada keindahan apalagi di depan nanti. Angkutan umum yang berjenis mini bus itu tidak melaju kencang karena jalur yang ditempuh untuk mengantar saya naik sangat berliku dan menanjak. Tidak jarang ditemui tikungan dan tanjakan tajam. Bapak supir dengan sangat ahli dan hati-hati mengontrol laju kendaraan karena banyak terdapat jurang bahkan ada yang tanpa pembatas dipinggir jalan.
Setelah menempuh lebih dari setengah perjalanan yang indah, saya semakin kagum dan sempat merasa tidak percaya.
Selamat datang di dataran tinggi Dieng Plateau!
Kalimat itu saya baca sekilas di tengah jalan. Dan rasanya saya ingin langsung turun dari angkutan umum untuk melukis tulisan itu pada kamera yang saya bawa. Angkutan umum yang saya naikki terus mendaki sambil saya menatap keindahan alam di luar.
Setelah menempuh dua jam perjalanan, saya tiba di tempat yang saya sebut kepada bapak supir dan kondektur untuk diantar. Penginapan Bu Djono. Penginapan ini sudah terkenal baik di dalam maupun luar negeri. Bahkan semua tulisan lokal maupun interlokal tentang dataran tinggi Dieng Plateau selalu menyebutkan nama penginapan ini, termasuk tulisan saya sekarang yang juga ikut menyebutkannya. Setalah turun dari angkutan dan membaca papan nama yang bertuliskan penginapan Bu Djono tersebut, perasaan saya semakin tidak bisa dijabarkan.
Sambil merasa takjub, saya mulai mengetuk pintu penginapan yang terbuka dan masuk ke dalam yang terasa agak hangat. Lagi-lagi saya mendapatkan sambutan yang membuat saya merasa sangat istimewa. Sambutan kali berasal dari seorang ibu yang bekerja di penginapan Bu Djono. Setelah sedikit bertanya kepada saya, ibu itu langsung mengantar saya ke kamar atas. Tanpa panjang lebar, saya langsung setuju dengan kamar yang nyaman dan murah itu, dan saya langsung berbaring di kasur empuknya.
Kamar yang saya sewa harganya seratus ribu rupiah per malam dengan fasilitas tv, air panas (water heater) dan tanpa sarapan. Kalau dengan sarapan harga sewanya ditambah dua puluh ribu rupiah. Kamar yang sangat nyaman untuk ukuran backpacker.
Siang itu, tepatnya saya lupa saat itu pukul berapa, saya tidak langsung menikmati keagungan dan keindahan dataran tinggi Dieng Plateau. Sesampainya di penginapan saya langsung tertidur karena merasa lelah.
Saat sore tiba saya terbangun dan berniat untuk mandi lalu berkeliling. Namun setelah saya masuk ke dalam kamar mandi, nyali saya berkurang untuk langsung mandi. Saya pun turun dan meminta ibu penjaga yang saya lupa tanya namanya itu untuk menyalakan pemanas air untuk saya mandi.
Pemanas air sudah dinyalakan. Semangat saya untuk mandi naik lagi. Namun ketika saya memulai untuk mandi, saya merasa sama saja. Air tidak menjadi panas ataupun hangat, namun tetap air es hanya tidak begitu beku. Dengan nekat saya tetap mandi. Dan setelah mandi, saya merasa menggigil karena air es disana.
Dengan pakaian dan jaket yang tebal saya keluar penginapan dan berjalan kaki menikmati pemandangan dan dinginnya Dieng Plateau. Karena hanya berjalan kaki, saya pun hanya berfoto sedikit dan tidak jauh dari penginapan. Ada beberapa wisatawan dalam dan luar negeri. Tidak ramai, karena itu hari kerja ketika saya disana.
Saat melihat handpphone, tidak ada tanda sinyal sedikitpun yang muncul. Namun setelah saya berjalan kembali, saya melihat ada dua warnet (warung internet) yang beroperasi. Dengan sedikit kaget dan girang saya pun masuk ke dalam salah satu warnet tersebut. Karena saya merasa ketika itu saya agak membutuhkan koneksi.
Tidak lama berada di dalam warnet yang dingin tanpa menggunakan pendingin ruangan, saya kembali berjalan kaki untuk mencari makan. Dan saya pun makan disamping penginapan Bu Djono.
Setelah makan saya kembali ke penginapan untuk sewa motor yang akan saya gunakan esok hari dan satu orang untuk mengantar dan menemani saya melihat matahari terbit di sunrise view. Kemudian saya masuk ke kamar dan tidur karena sudah ada janji untuk berangkat melihat matahari terbit saat masih gelap.
Esoknya, tepat pukul 03.45, tour guide yang akan mengantar saya menuju sunrise view membangunkan saya dengan mengetuk pintu kamar. Saya terbangun dan langsung bersiap dalam senang. Tanpa adanya sedikit nyali untuk mandi, saya langsung mengganti kaus, menggunakan jaket yang dilapisi jaket yang sangat tebal dan celana yang juga saya lapis dengan celana lain lagi, kaus kaki kemudian memakai sepatu. Karena saat itu dingin membuat saya kaku.
Setelah siap, saya turun ke bawah. Sudah ada teh panas yang disiapkan untuk saya di meja makan, dan seorang tour guide yang sedang memanaskan dua kuda besi yang akan mengantar kami menembus dingin. Satu dia kendarai dan satu lagi saya kendarai. Karena tour guide itu hanya mengantarkan saya menuju sunrise view saja, selebihnya saya sendirian mengnelilingi dataran tinggi Dieng Plateau.
Setelah menghangatkan perut dengan segelas teh panas, saya beserta tour guide itu berangkat. Dengan senyum manis kami mulai menarik gas dan motor pun jalan.
Baru mulai jalan, tangan saya mulai merasa beku karena saya lupa membawa sarung tangan. Dan semakin beku lagi dan semakin beku. Hanya sugesti terhadap sunrise dan meyakinkan diri saya kalau saya sedang berada di dataran tinggi Dieng Plateau yang membuat saya tidak menyerah melawan dingin yang dinginnya belum pernah saya rasakan sebelumnya. Sangat dingin, dan semakin dingin!
Sudah lebih dari setengah perjalanan, saya kembali merasa kagum dan agak tidak percaya. Ada papan bertuliskan “Desa Tertinggi di Pulau Jawa”, dan saya melewati itu, masih naik lagi meninggalkan desa tertinggi di pulau Jawa.
Tidak lama setelah itu saya sampai di tempat parkir. Di tempat parkir saya membayar tiket masuk yang harganya empat ribu rupiah dan parkir motor yang harganya dua ribu rupiah. Kemudian saya beserta tour guide itu berjalan kaki untuk mendaki gunung. Sangat seru. Sangat menantang. Sangat indah. Sangat tinggi. Sangat curam. Entah harus ada berapa banyak sangat lagi yang akan saya tulis untuk mendeskripsikan ini. Luar biasa.
Sesampainya diatas, awan masih memperlihatkan sisi gelapnya. Tidak lama muncullah terang.
Namun ketika terang muncul, cuaca sangat tidak bersahabat. Kabut tebal pun tidak mau kalah untuk memunculkan dirinya di tempat itu. Disana ada beberapa wisatawan lain, tidak hanya saya. Dan kami semua yang ada disana mulai merasa khawatir. Karena kalau kabut tidak kunjung pergi, maka matahari terbit tidak bisa kami nikmati.
Setelah lama menunggu, kabut tidak juga mau pergi. Kabut terus menampakkan dirinya seolah dialah yang seharusnya kami nikmati, bukan si matahari yang terbit. Tapi bukan kabut tujuan kami.
Alam begitu kuat, kami tidak bisa melawan dan memohon. Kabut tidak juga pergi dan matahari tidak bisa memberikan senyuman pagi kepada kami. Karena merasa tidak ingin sia-sia, saya tetap menikmati pemandangan yang begitu hijau, dingin dan tinggi. Sangat indah pemandangan dari tempat yang sangat tinggi itu. Tidak mau rugi juga saya mengambil beberapa foto disana, walaupun saya tidak bisa mengambil foto matahari terbit sesuai dengan tujuan saya.
Setelah terang sudah lama muncul, saya kembali menuruni gunung itu menuju parkiran motor sambil sesekali berfoto. Sesampainya di parkiran motor, ternyata disana ada sebuah danau yang tidak kalah menarik. Danau Cebong namanya. Saya kembali berfoto disana. Hal yang seharusnya dilakukan saat liburan, mengabadikannya. Rana lensa selalu bekerja dan melukis selama saya disana.
Setelah puas di danau Cebong, saya kembali melanjutkan perjalanan mengelilingi Dieng Plateau. Tapi kali ini tanpa tour guide. Beliau kembali pulang karena hanya mengantar saya menuju sunrise view saja. Selebihnya sudah cukup jelas karena penunjuk jalan disana sudah lengkap dan bisa membawa saya berkeliling.
Berikutnya saya menuju ke sebuah kawah dimana terdapat banyak sekali belerang dengan bau khasnya disana. Karena masih pagi, saya tidak membeli tiket untuk masuk kesana, karena petugas jaganya belum datang. Saya hanya membayar parkir motor saja sebesar dua ribu rupiah.
Di kawah itu saya tidak lama, karena baunya yang sangat menyengat. Di kawasan kawah itu saya singgah di sebuah warung sebelum saya melanjutkan perjalanan. Saya makan beberapa gorengan disana dan minum segelas Purwaceng, minuman khas dataran tinggi Dieng Plateau.
Setelah cukup, saya kembali melanjutkan perjalanan. Sebelum menuju kawah tadi saya kembali melewati desa tertinggi di pulau Jawa yang membuat saya merasa norak ketika melihat tulisan itu. Searah dengan jalan untuk kembali, saya masuk ke telaga warna. Dengan harga tiket masuk yang juga sangat murah, hanya enam ribu rupiah per orang.
Sepulangnya dari telaga warna itu, saya kembali ke penginapan untuk men-charge batery kamera saya sekalian saya mencari makan. Setelah cukup saya kembali melanjutkan perjalanan. Dan sayang sekali, ketika saya melanjutkan perjalanan hujan rintik-rintik turun seolah ingin menemani saya berwisata di dataran tinggi Dieng Plateau.
Saat hujan turun saya pun berteduh agar tidak basah. Setelah hujan yang tidak saya harapkan itu berhenti, saya kembali melanjutkan wisata saya. Ada banyak tempat yang saya kunjungi berikutnya. Seperti danau, telaga, dan candi-candi. Setelah mengunjungi candi Arjuna saya memutuskan untuk kembali ke penginapan karena hujan turun lagi. Ada beberapa tempat yang belum sempat saya kunjungi karena kondisi yang tidak mendukung, seperti air terjun, dan tempat wisata lainnya.
Setelah sampai di penginapan, saya memesan secangkir kopi panas sambil melakukan transaksi pembayaran sewa motor dan tour guide. Terdapat keunikan saat melakukan pembayaran. Keunikan yang saya maksud adalah harga sewa motor per orangnya lima puluh ribu rupiah, dan membayar tour guide per orang dari wisatawannya sebesar dua puluh ribu rupiah. Dua puluh ribu rupiah karena tour guide hanya mengantarkan ke sunrise view saja. Mau berapapun jumalah wisatawannya, semua itu dihitung per orangnya harus membayar sejumlah itu.
Sejak saya menulis saat saya sudah sampai di dataran tinggi Dieng Plateau, ada beberapa yang belum saya jelaskan. Seperti disana hanya ada satu bank, yakni bank BRI. Dan disana hanya ada satu minimarket. Selebihnya disana benar-benar khas sebuah desa yang sangat indah. Dan disana, baik pagi, siang, sore ataupun malam, setiap kita berbicara dan bernafas selalu mengeluarkan asap, tanda dingin merajai tempat itu. Sebuah kondisi alam yang sangat tidak mungkin saya dapatkan di kota.
Ketika malam tiba, masih sama seperti malam sebelumnya, saya hanya ke warnet dan mencari makan. Sebelum keluar untuk ke warnet dan mencari makan, saya mandi dengan pemanas air yang kalah dan menyarah dengan air lokal, sehingga butuh nyali besar untuk mandi disana.
Setelah makan malam saya kembali ke penginapan dan mulai beristirahat. Saya harus tidur karena badan sudah lelah dan esoknya saya harus kembali pulang ke Tangerang.
Esok pun tiba.
Tanpa mandi di pagi hari yang segar, saya bersiap untuk pulang. Setelah memasukan semua barang-barang ke dalam tas, saya pun turun untuk check out dan kembali memesan kopi tanpa sarapan.
Sekitar pukul 10 pagi saya pergi meninggalkan penginapan sederhana yang sudah mendunia itu. Saya kembali pulang dalam perasaan hangat dan kekeluargaan karena orang-orang yang sangat ramah.
Saya naik angkutan umum untuk kembali ke Wonosobo.
Saat di angkutan umum dalam perjalanan pulang, saya kembali menikmati keindahan alam yang kemudian tersimpan dalam memori saya. Pengalaman yang begitu indah dan keindahan alam yang selalu membuat saya ingin kembali lagi kesana.
Selama dalam perjalanan, kembali saya bersama dengan orang-orang yang sangat baik dan ramah. Setiap angkutan umum yang berpapasan di jalan selalu saling memberikan sapaan hangat satu sama lain dengan cara mengangkat dan memberikan tangan atau meng-klakson. Sama seperti ketika saya berangkat.
Saya berbincang dengan bapak supir yang sambil memutar stirnya ke kanan dan ke kiri. Menurut beliau dan warga lainnya disana, paling bagus kalau ke dataran tinggi Dieng Plateau ialah saat musim kemarau panjang tiba, yaitu pada bulan Juli dan Agustus.
Saat bulan Juli dan Agustus, wisatawan benar-benar merasakan dan melihat dataran tinggi Dieng Plateau yang sesungguhnya. Pada bulan itu suhunya bisa mencapai suhu minus derajat. Dan karena terlalu dingin, sangat mudah dan banyak ditemui es yang seperti salju menyelimuti dataran tinggi Dieng Plateau.
Setelah lama berbincang, saya pun sampai di kota Wonosobo dan saya harus berganti angkutan umum untuk menuju terminal Mendolo. Ongkosnya masih sama, delapan ribu rupiah. Sama seperti berangkat, banyak orang yang baik dan ramah membantu saya.
Kemudian saya berganti angkutan dan menuju ke terminal Mendolo dengan ongkos dua ribu rupiah, sama juga ketika saya berangkat.
Sesampainya di terminal, saya langsung membeli tiket pulang ke Tangerang untuk turun di daerah Bitung. Saya membeli tiket dengan bus yang sama ketika saya berangkat, namun harganya yang berbeda, lebih murah lima ribu rupiah. Saya membeli tiket dengan harga delapan puluh ribu rupiah.
Saya sampai di terminal pukul 12 siang. Dan bus berangkat dari terminal Mendolo, Wonosobo berangkat pukul 16.30.
Saya kembali menunggu di warung tempat saya minum kopi saat pertama kali tiba di terminal itu untuk menunngu bus yang akan mengantar saya pulang.
Tepat pukul 16.30 bus melaju meninggalkan terminal kota. Tidak lama saya melihat jalan, saya kembali tidur di dalam bus. Sama seperti berangkat, saya mendapatkan satu kali makan gratis di tengah perjalanan. Dan setelah makan, saya memilih untuk tidur lagi di dalam bus.
Pukul 05.00 esok paginya, saya sampai di tempat tujuan saya, Bitung.
Dan saya langsung menuju rumah dengan ketidaksabaran saya untuk menceritakan pengalaman saya di dataran tinggi Dieng Plateau kepada keluarga saya.(daru)

Share this article :

2 komentar:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. CATATAN KITA - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template